Beberapa hari ini sejumlah media
massa mengangkat isu pemalsuan tugas akademik, terutama skripsi dan tesis,
sebagai syarat kelulusan pendidikan di universitas. Tentu saja, maraknya
kecurangan itu wajib dipermasalahkan. Tapi, di saat yang sama, saya juga gatal
untuk bertanya kepada perusahaan media massa yang mengangkat isu itu: apakah
mereka mensyaratkan pendidikan S1 untuk calon pegawai mereka? Jika ya, maka
keprihatinan mereka adalah keprihatinan yang percuma.
Kenapa?
Karena, syarat pendidikan minimal
S1 yang disyaratkan banyak perusahaan, adalah penyebab utama dari pemalsuan
tugas-tugas akademik itu. Oke, tentu saja ada pos-pos pekerjaan yang hanya
mensyaratkan pendidikan D3 atau bahkan SMA. Tapi semua orang tahu, itu adalah
pos-pos terendah. Untuk mendapatkan gaji yang layak, Anda harus lulus
universitas. Ini syarat umum yang diterapkan oleh hampir seluruh perusahaan di
Indonesia. Bahkan sejumlah perusahaan mensyaratkan IP tertentu. Konyol!
Hal ini membuat penilaian
kualitas seseorang ditentukan oleh selembar ijazah, bukan oleh kompetensinya.
Ijazah menjadi seperti tiket nonton pertandingan sepakbola. Tak penting Anda
suka bola atau tidak, bukan masalah Anda mau bikin kerusuhan di dalam, tak
penting Anda copet yang datang hanya untuk menguras kantong penonton lain, tak
penting Anda membeli tiket dari calo… selama Anda memegang tiket itu, Anda
boleh masuk stadion. Sementara yang benar-benar ingin memberi dukungan, yang
tahu benar akan sepakbola, atau anak kecil yang punya obsesi menjadi pemain
besar… selama mereka tak punya tiket, ke laut aja.
Dalam hal menonton sepakbola, hal
itu tak bisa dihindari. Tapi, dalam penyaringan calon pegawai, itu bisa
dihindari. Menghapus persyaratan S1 tak akan menurunkan kualitas pegawai yang
Anda terima, percayalah. Toh para calon pegawai harus melewati serangkaian tes,
perusahaan bisa membuat tes yang benar-benar mampu memfilter mereka yang
kompeten. Kalau pun ada kesalahan dalam tes yang begitu banyak itu, ada masa
magang selama 9 bulan. Ada kesempatan untuk menilai mereka lebih dalam.
Dan, yang terpenting, ijazah S1
sama sekali tak menggambarkan kualitas seseorang. Anda mungkin berkata, “Loh,
ijazah S1 adalah salah satu cara untuk menentukan kompetensi seseorang. Jika
sarjana saja banyak yang tak berkualitas, apalah lagi mereka yang hanya tamat
SMA.” Untuk mereka yang berkata seperti ini, saya akan sodorkan kepada mereka
sejumlah orang yang amat berkualitas meski mereka bukan sarjana. Serius,
kualitas mereka (secara teknik dan etos kerja) jauh lebih baik dari rekan-rekan
mereka yang lulus S1 atau bahkan pascasarjana. Tentu saja, ada pengecualian.
Pekerjaan di bidang akademis (dosen atau peneliti) tetap harus diisi oleh para
sarjana.
Selama perusahaan-perusahaan
masih mensyaratkan pendidikan S1 dalam iklan lowongan kerja mereka, selama itu
pulalah gelar sarjana menjadi tuhan. Apapun dilakukan agar mendapatkan gelar
itu. Tak penting caranya. Mau tugas skripsinya dibuatkan orang lain, mau otak
mereka sekosong bola kempis, sebodo amat. Toh nantinya yang dilihat oleh SDM di
perusahaan-perusahaan itu adalah ijazan dan IP mereka. SDM tidak bertanya,
“Kamu lulus dengan memakai skripsi buatan sendiri atau buatan tukang ketik di
Jalan Pramuka?” Kalau pun hal itu ditanyakan, kita bisa menjawab: “Ya buat
sendirilah.”
Jadi, daripada menerima para
sarjana palsu dengan mental tempe yang bikin skripsi saja harus bayar orang
lain, lebih baik membuka diri seluas-luasnya. Beri kesempatan kepada lulusan
SMA/SMK yang cerdas dan berdedikasi tapi tak mampu masuk universitas karena uang
pangkalnya mahal selangit.